Senin, 15 Juli 2013


“PENJAGA MALAM”

Jika kita hanya membaca biografi awal Rembrandt atau hanya melihat lukisan-lukisan awalnya saja, nampaknya adalah semacam keajaiban bahwa Rembrandt pernah menerima dan memakai gaya klasikis. Beberapa fakta sejarah bahkan menunjukkan sikap anti-klasikis dari Rembrandt

Rembrandt adalah seniman Baroque. Dia dilahirkan dan meninggal dunia dalam tradisi ini. Dia, seperti seniman-seniman Belanda pada masa itu, tidak bisa lepas dari pengaruh gaya Baroque. Namun antara tahun 1640 sampai 1648, Rembrandt berada dalam periode transisi gaya. Sekitar tahun 1640, selain mengeksplorasi dan memakai elemen-elemen Baroque, seperti gerak yang meliuk-liuk, diagonal yang dramatis, garis-garis lengkung, dan benturan antara cahaya dengan bayangan, Rembrandt melihat gaya lain dalam berekspresi yang lebih simpel, lebih tenang dalam klasikisme.

Sepanjang dekade 1640an elemen-elemen baroque Rembrandt dan kecenderungannya pada gaya klasik berjalan berdampingan dalam karya-karya seninya. Kadang bercampur, kadang salah satu lebih dominan hingga akhir dekade, saat gaya klasik akhirnya tidak menonjol lagi. Rembrandt tidak pernah menjadi penganut paham klasikis, dia jauh lebih merdeka dalam pemikiran, terlalu “realis”, terlalu “Orang Belanda Abad ke17” untuk itu.

Kesukaan Rembrandt pada klasikisme terlihat pada karyanya “Aristotle Contemplating the Bust of Homer” dan terutama pada “Potret Diri” nya yang dibuat tahun 1640. Lukisan “Potret Diri” ini sangat kalem dan seimbang, menggunakan komposisi piramidal tipikal gaya Renaissance.

Kemunculan elemen-elemen klasikal dalam sebuah lukisan, tidaklah berarti bahwa Rembrandt telah mengambil arah baru dalam perjalanan berkeseniannya. Periode “transisional”nya hanyalah sebuah alternatif antara mood yang satu dengan mood lainnya. Dalam karyanya yang paling terkenal “Penjaga Malam” (1642), hanya sedikit jejak klasikal yang terlihat, yaitu pada arsitektur di latar belakang. Lukisan ini adalah masterpiece dari gaya Baroque.

Sejak dikenal dengan judul yang keliru, apalagi belum melihatnya secara langsung, sangat wajar dan logis jika kita berasumsi bahwa lukisan ini menggambarkan suasana pada malam hari. Judul resminya adalah “The Company of Captain Frans Banning Cocq and Lieutenant Willem van Ruitenburch”. Nanti pada akhir abad ke18 namanya berubah menjadi seperti yang kita kenal sekarang ini.
Sayangnya, kata “Penjaga” dan “Malam” dua-duanya keliru. Pasukan “Pengawal Negara” pada saat Rembrandt melukis mereka sudah tidak lagi perlu mempertahankan atau meronda kota Amsterdam baik siang ataupun malam hari. Amsterdam pada waktu itu sudah cukup aman dan tertib. Jika diasumsikan bahwa berkumpulnya mereka itu untuk suatu tujuan tertentu, paling-paling berbaris ke lapangan untuk mengikuti kontes menembak atau mengambil bagian dalam parade.

“Malam” bahkan lebih kacau lagi dari “Penjaga”. Ketika para kritikus dan publik memberi nama pada lukisan tersebut, kanvasnya telah menjadi begitu gelap karena kotoran, debu, dan lapisan-lapisan vernis yang membuatnya sulit ditentukan apakah iluminasi yang dimaksud Rembrandt berasal dari matahari atau bulan. Nanti setelah akhir Perang Dunia II, saat lukisan tersebut direstorasi sepenuhnya, barulah nampak gagasan yang diinginkan oleh Rembrandt lebih 300 tahun sebelumnya.

Karya-karya Rembrandt menderita akibat perlakuan para restorator lukisan. Istilah “Coklat Rembrandt” adalah hasil ulah mereka yang hasilnya mengesankan bahwa Rembrandt adalah seorang pelukis yang monoton dalam penggunaan warna, membuat kejeniusannya dalam hal warna jadi tenggelam.

Cukup beralasan memang mengapa karya-karya Rembrandt begitu dikacaukan oleh banyaknya tumpukan vernis. Seiring dengan bertambahnya kedewasaannya, Rembrandt makin bebas dalam menggunakan teknik yang dimilikinya, seperti penggunaan goresan-goresan tebal dan kasar, lintasan-lintasan warna rusak, impasto berat dengan pisau palet, dan mengosok bidang-bidang kanvas dengan memakai jari-jari tangan. Gaya melukis khas Rembrandt seperti ini membuat akhirnya membuat sebagian besar kritikus abad ke-17 dan abad ke-18 menganggap bahwa Rembrandt membuat lukisannya secara berlapis-lapis, termasuk pelapisan vernis di antara lapisan-lapisan tersebut untuk mendapatkan warna yang senada dan daya lekat cat yang lebih baik. Salah kaprah ini muncul salah satunya barangkali akibat Rembrandt yang tidak membiarkan orang lain melihat lukisan yang dibuatnya sebelum benar-benar selesai. Akibatnya, lebih dari seabad setelah meninggalnya, banyak lukisannya yang dilapisi vernis secara bebas, sebagian bahkan vernis berwarna oleh para pedagang dan para kolektor. Penggunaan vernis dengan maksud melindungi lukisan ini juga membuat goresan-goresan dan warna jadi membaur. Pada lukisan “Penjaga Malam” hal ini ada gunanya juga. Tahun 1911, sewaktu lukisan ini masih ditutupi oleh lapisan vernis keras yang tebal, seorang koki kapal menusuknya dengan pisau. Alasannya karena lukisan “Penjaga Malam” sangat terkenal sementara dia tidak. Namun permukaan lapisannya yang sudah sekeras kaca hingga tidak bisa ditembus pisau membuat lukisan ini selamat dari bencana.

“Penjaga Malam” dipesan oleh Kapten Banning Cocq dan 17 anggota pasukannya. Asumsi ini berdasarkan fakta nama-nama tersebut (ditambahkan oleh seseorang setelah lukisan ini selesai) tertera pada perisai di atas tembok di latar belakang. Tentu saja mereka mengharapkan sebuah lukisan potret berkelompok dimana setiap anggota dapat dikenali dengan jelas, walaupun barangkali tidak sama dalam penampilannya, berdasarkan pengaruh atau senioritas masing-masing. Anggota yang dilukis seluruh tubuh tentu harus membayar lebih banyak dibandingkan yang hanya ditampilkan kepala atau yang figurnya hanya sebagian saja. Mereka mungkin sudah dapat melihat bahwa Rembrandt tidak akan membuat sebuah lukisan standar yang statis seperti umumnya lukisan potret berkelompok masa itu. Namun tak satupun dari mereka yang siap menghadapi kejutan dari karya masterpiece itu nantinya.

“Penjaga Malam” adalah sebuah lukisan kolosal. Ukuran aslinya adalah sekitar 3,9 meter kali 4,8 meter dan berisi bukan hanya ke 18 orang pasukan pengawal tersebut tapi juga 16 figur lainnya yang ditambahkan oleh Rembrandt. Ini adalah lukisan paling revolusioner yang pernah dibuat oleh Rembrandt. Mentransformasi lukisan potret berkelompok tradisional Belanda menjadi kilatan cahaya, warna dan gerakan yang mempesona. Berukuran jauh lebih besar dari lukisan potret ortodoks, lebih kompleks namun tetap menyatu secara keseluruhan. Di tangan Rembrandt, tentara berbaris, - sesuatu hal yang lumrah - berubah menjadi sebuah kemeriahan Baroque yang penuh semangat, riuh dengan bunyi drum dan letupan senapan, ketukan-ketukan pelantak, gonggongan anjing, serta tangis anak-anak. Di latar depan, Kapten Banning Cocq dan letnannya memimpin barisan tanpa aturan formal. Rasa gerakan  diperkuat dengan garis diagonal yang memusat: pada sisi kanan, perspektif tombak di tangan sang letnan , senapan musket serdadu di belakangnya dan tombak di atasnya; dan pada sisi kiri, tongkat sang kapten, garis nya yang diulangi oleh senapan musket serdadu lain dan banner. Pengaruhnya langsung terasa pada pengamat; ia merasa bahwa ia sebaiknya menyingkir dari situ.

Kontras yang kuat antara cahaya dan bayangan memperkuat kesan gerakan, namun juga menegaskan penggunaan cahaya dalam lukisannya adalah untuk lebih kepentingan estetik daripada tampilan logika. Bayangan tangan kapten Cocq pada mantel sang letnan  mengesankan bahwa matahari berada pada sudut sekitar 45 derajat di sebelah kiri, namun bayangan dari kaki kapten mengesankan sudut yang berbeda. Lukisan ini tentu saja dirancang dan dibuat di dalam studio, para abdi negara ini tidak berpose diluar rumah, meski pencahayaannya dalam beberapa detil tertentu sesuai benar dengan keadaan alam. Ia mengatur dan memanipulasi cahaya dengan membuka atau menutup daun jendela studio sesuai dengan keinginannya, untuk menciptakan atmosfer fantasi dan dramatis.

Mitos yang melekat pada lukisan “Penjaga Malam” adalah yang paling kuat dan paling mengganggu diantara mitos-mitos lain yang mengelilingi Rembrandt. Bahwa lukisan inilah yang membawa Rembrandt ke jurang kebangkrutan, bahwa lukisan ini tidak diterima oleh pemesannya karena terlalu revolusioner, dan sebagainya. Begitu dipercayainya kebenaran cerita-cerita ini, sampai-sampai pada musim turis tahun 1967, maskapai penerbangan Belanda KLM mencantumkan cerita-cerita tersebut dalam promosi-promosinya. Namun berdasarkan hasil observasi Professor Seymour Slive dari Harvard dalam buku “Rembrandt and His Critics” fakta sebenarnya tidaklah seperti itu.

Lukisan tersebut tidak pernah kurang diterima oleh para pemesannya. Tidak ada kritikus semasa hidup Rembrandt yang pernah menulis bahwa “Penjaga Malam” tidak atau kurang diterima karena mengecewakan pemesannya. Kapten Banning Cocq sendiri memiliki kopian lukisan tersebut di dalam album pribadinya dalam bentuk lukisan cat air dan sebuah kopian cat minyak nya yang dibuat oleh Gerrits Lundens (sekarang dimiliki oleh Galeri Nasinal Inggris di London), adalah bukti kepopuleran lukisan ini. “Penjaga Malam” tidak pernah disembunyikan di tempat yang tidak jelas. Kloveniersdoelen, markas pasukan pengawal negara adalah rumah pertamanya, dan tahun 1715 lukisan Penjaga Malam dipindahkan ke gedung Balai Kota Amsterdam. Sayangnya karena alasan ruang, lukisan ini dipotong di semua sisinya. Sisi sebelah kiri adalah bagian yang paling banyak terpotong, sekitar 60 cm, dan 3 figur yang ada di dalamnya lenyap entah ke mana. Begitu pula dengan cerita bahwa lukisan ini yang akhirnya membuat Rembrandt kehilangan pelanggan. Rembrandt menerima 1600 guilder untuk lukisan “Penjaga Malam”, dan empat tahun kemudian Pangeran Orange membayar 2400 guilder untuk dua buah lukisan yang berukuran lebih kecil. Tahun 1642, Rembrandt berada pada puncak ketenarannya, lalu perlahan-lahan kehilangan penggemar. Salah satu alasan jatuhnya popularitas Rembrandt adalah perubahan cita rasa seni orang-orang Belanda. Seiring dengan makin meningkatnya rasa aman dalam diri orang-orang kaya masa itu, mereka pun mengembangkan kesenangan akan penampilan yang elegan dan lebih gaya. Mereka mulai menyukai warna-warna yang terang dan lembut seperti karya-karya Antony van Dyck.
Disadur dari “The World Of Rembrandt” Time-Life Library Of Art, 1968


Penjaga Malam
Rembrandt van Rijn
 

Kamis, 04 Juli 2013

Lukisan I La Galigo versi Mike Turusy


My Artworks


ELEGI SEPI
Budi Haryawan
Oil on Canvas
100 cm x 80 cm
1996



NIGHT ON IN WHITE SATIN
SEPENGGALAH LANGIT DI MATAHARI
NB: GAJAH DI ATAS KEPALA
Budi Haryawan
Oil on Paper
67 cm x 50 cm
2008
 



WHAT SHOULD I DO TO MAKE YOU HAPPY
Budi Haryawan
Oil on Canvas
160 cm x 70 cm
2009
Hari ini dada dan kepalaku bertanya padaku, "Mau kamu apa sebenarnya?"
Eh? Itu yang aku tanyakan tadi pada dunia, pada orang-orang, pada kucingku yang tidur di pagar,
pada ayam yang mengerami telur burung unta. Pada semuanya lah!
Tapi mereka balik bertanya juga, "Mau kamu apa sebenarnya?"



ARE YOU STILL HERE TOMORROW
Budi Haryawan
Oil on Canvas
90 cm x 30 cm
2009
Waktu berlalu, bunga mekar dan layu, masih adakah aku?


 
SEBUAH TANGGA DI BAWAH SINAR BULAN
Bagian Pertama: LINGKAR DALAM
Budi Haryawan
Oil on Canvas
95 cm x 80 cm
2009
Angin di beranda
Pokok bambu di ujung kampung
Suara anak kecil mengaji
Kopi buatan istri

Gentong kecil di kaki tangga
Segar sekali airnya

Anak tangga di depanku disepuh sinar bulan

Kopi buatan istri...
Angin masih di beranda...




SEBUAH TANGGA DI BAWAH SINAR BULAN
Bagian Kedua: KITAB-KITAB KEHIDUPAN
Budi Haryawan
Oil on Canvas
122 cm x 122 cm
2012
Angin di beranda....
Kopi buatan istri...

Masih sejuk air dari gentong di kaki tangga
Pendalaman yang tak pernah selesai...

Kopi buatan istri...
Angin masih di beranda...

Jumat, 27 Januari 2012

Bagaimana Cara Pelukis Membuat Lukisan?

Jawaban singkat dari pertanyaan tersebut adalah bahwa sebagian besar pelukis membubuhkan suatu material berwarna pada permukaan sebuah bidang dengan menggunakan kuas atau alat lainnya. Namun ini tentu saja hanya bagian kecil dari keseluruhan cerita. Ini sama saja dengan mengatakan bahwa seorang gitaris bermain gitar dengan cara menggaruk-garuk senar gitarnya. Pelukis yang membubuhkan cat serta gitaris yang menggaruk senar hanyalah apa yang dapat kita lihat dari luar. Yang membuat seorang pelukis atau gitaris menjadi seniman yang baik adalah pemahamannya tentang kegiatan yang sedang ia lakukan. Apa yang membuat imajinasi kreatif -pembeda utama antara seorang jenius dengan seorang imitator- bisa muncul, sulit untuk dimengerti bahkan oleh senimannya sendiri.
Para seniman bekerja dan berpikir dengan berbagai cara. Ada yang cenderung tenang, memikirkan segala sesuatu nya terlebih dahulu serta menganalisa karya seni secara teoritis. Sebagian lagi berkarya secara mendadak mengikuti dorongan yang muncul secara tiba-tiba. Ada juga yang membutuhkan waktu lama untuk menempatkan diri ke dalam kondisi mental yang tepat, dengan perasaan yang harmonis dan tanpa beban. Mereka mencoba membayangkan terlebih dahulu bagaimana hasil akhir dari karya yang akan dibuatnya, lalu melukisnya secara cepat.
Kendati begitu banyak perbedaan cara, semua seniman melewati langkah dan proses yang relatif sama. Apakah itu menulis puisi, membuat komposisi musik, atau melukis, para seniman harus belajar menangani alat dan bahan dalam membuat karya seni mereka. Pengetahuan tentang medium dan keterampilan dalam menggunakannya disebut teknik.
Proses kreasi secara mental yang diciptakan oleh seorang seniman membutuhkan waktu yang lebih lama dalam mempelajarinya. Seorang seniman kadang menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam mengobservasi dan memikirkan apa yang ia lihat dan dengar, mengisi pikirannya dengan bayangan dan gagasan. Bagi sebagian seniman, gagasan untuk sebuah karya seni kemudian muncul dari inspirasi yang datang secara mendadak. Dia mungkin langsung menuangkan ide atau gagasan tersebut secara cepat ke dalam bentuk sket kasar. Setelah itu proses membangun, mengoreksi, dan menyempurnakan akan berlangsung secara lambat dan teliti. Beberapa seniman tidak bergantung pada inspirasi kilat, tapi mengolah gagasan-gagasan mereka secara bertahap sambil berkarya.
Salah satu cara yang dilakukan seorang pelukis untuk mulai membuat lukisannya adalah mengobservasi dan merekam sesuatu objek yang sudah ada diluaran sana. Dia bisa meminta seorang model untuk berpose baginya. Dia dapat saja mengatur beberapa objek tertentu di atas meja. Atau mengelilingi sebuah tempat tertentu mencari pemandangan yang nampak bagus sebagai subjek lukisannya.
Seorang pelukis juga dapat mulai berdasarkan gambar imajinasi dari mimpi atau cerita yang pernah dia baca. Kadangkala dia mulai dengan menggunakan semacam kerangka atau pola tertentu, seperti pola segitiga, piramid, atau misalnya, huruf Z dalam lukisan “The Old Guitarist” karya Pablo Picasso.
Bagaimanapun cara memulainya, termasuk juga saat dia melengkapi detail dan finishing, seorang pelukis harus terus menentukan apa saja yang menjadi bagian lukisan dan yang tidak, apa yang dikedepankan dan apa yang tidak, bagaimana menggabungkan detail-detail kecil menjadi kelompok-kelompok yang lebih besar, dan bagaimana mengorganisir keseluruhan gambar menjadi satu kesatuan yang utuh.
Sebuah lukisan yang telah selesai memiliki satu atau beberapa pengaturan tertentu dari bagian-bagian dan kualitasnya yang disebut form. Form biasa disebut bentuk atau bangun. Banyak lukisan memiliki form yang kompleks. Kita bisa saja mempelajari lukisan tersebut dalam waktu lama tanpa mengetahui semua cara yang dipakai oleh pelukisnya dalam menyeleksi dan mengatur bagian-bagian lukisannya. Untuk dapat lebih mencermati detail dan relasi yang kompleks seperti ini adalah dengan menganalisa form ke dalam elemen-elemennya dan melihat bagaimana mereka diletakkan. Elemen-elemen utama dari sebuah lukisan adalah garis, warna, tekstur, terang dan gelap, ruang, massa/bobot dan perspektif.
Garis biasanya adalah elemen dasar yang digunakan seorang seniman untuk membangun form dalam sebuah gambar. Dia dapat membuat garis dalam berbagai cara. Sebagai contoh, dia dapat mencoretkan atau mengecat sebuah garis tipis dengan warna hitam atau warna lainnya sebagai outline. Dengan mengkombinasikan garis-garis yang berbeda ukuran panjang dan arah, seorang pelukis dapat membuat sebuah gambar yang utuh tanpa harus menggunakan warna yang bermacam-macam, namun tentu saja ini terlihat lebih sebagai sebuah drawing daripada sebuah lukisan. Seorang pelukis juga dapat membuat garis-garis sebagai batas antara dua daerah warna yang berbeda. Garis dapat saja tajam dan jelas, atau kasar dan kabur. Vincent van Gogh menggunakan garis-garis tebal, kasar dan kabur dalam karyanya “Starry Night”. Goresan-goresan kasar dan tebal berwarna biru dan putih yang membentuk awan-awan berputar, juga pada bentuk berombak dari pohon-pohon cypress, begitu kuat mengesankan adanya energi dan gerakan.
Warna terdiri atas tiga jenis kualitas. Salah satunya adalah hue, dalam hal ini merujuk pada pembedaan merah, kuning, biru, hijau, ungu dan seterusnya. Hue sering juga disebut warna, walau dalam bahasa Inggris pengertian warna=hue berbeda dengan pengertian warna=colour. Kualitas yang kedua adalah value atau kecemerlangan, yaitu rentang warna dari sangat terang ke sangat gelap. Kualitas ketiga adalah intensitas atau nuansa warna, yang merujuk pada pengertian bahwa setiap hue dapat saja murni, kuat, dan cerah, atau bercampur dengan hue lain atau atau dengan warna putih.
Tekstur adalah penampilan dari permukaan sebuah bidang gambar/lukis. Permukaan sebuah bidang gambar dapat saja polos dan datar, atau bervariasi dari satu titik ke titik lainnya oleh perbedaan garis, hue, value, intensitas, atau hal-hal lainnya.
Terang dan Gelap kadangkala diperlakukan sebagai elemen yang terpisah dari warna. Sebuah foto hitam-putih mungkin memiliki banyak variasi terang dan gelap, namun tidak memiliki variasi hue. Sebagian pelukis menggunakan banyak variasi warna untuk menghasilkan variasi terang dan gelap yang naturalistik. Namun sebagian lagi ada yang yang menggunakan terang dan gelap untuk mendapatkan efek yang dramatis tanpa banyak memakai variasi hue. Mereka membuat kombinasi dan kontras terang dan gelap untuk mendapatkan kesan refleksi dan bayangan yang berasal dari efek pencahayaan khusus. Teknik seperti ini disebut chiaroscuro, dari bahasa Italia yang berarti terang dan gelap.
Ruang atau spasi. Dengan mengatur garis, daerah terang dan gelap, dan hue dengan baik, seorang pelukis dapat membuat sebuah objek terlihat rata atau berisi, dan terlihat jauh atau dekat. Seorang pematung membuat karyanya dalam wujud tiga dimensi. Namun seorang pelukis bekerja di atas permukaan yang datar, sehingga dia harus memiliki kemampuan untuk menciptakan ilusi dari isi dan kedalaman. Banyak cara yang sering digunakan oleh para pelukis, seperti membuat objek di kejauhan lebih kecil dari objek yang lebih dekat, membuat objek dekat menutupi objek yang lebih jauh dan tertutup sebagian dari pandangan, dan mengatur terang dan gelap untuk menghasilkan kesan hi-light atau refleksi satu sisi dari sebuah objek padat berisi dan kesan bayangan di sisi lainnya. Para pelukis juga sering menggunakan warna panas untuk membuat objek terlihat lebih dekat dan warna dingin untuk membuat objek terlihat lebih jauh. Bobot/massa atau kepadatan adalah salah satu elemen dari lukisan, seperti halnya perspektif atau ilusi kedalaman ruang. Komposisi ruang adalah pengaturan objek-objek sehingga terlihat berada pada tempat dan jarak yang berbeda di dalam sebuah ruang. Tidak semua pelukis menggunakan ilusi kedalaman dan jarak dalam berekspresi. Kita tidak boleh beranggapan bahwa ketika seorang pelukis membuat sebuah objek terlihat flat atau rata, itu karena dia tidak mampu membuatnya berkesan tiga dimensi. Beberapa karya pelukis Mesir kuno, pelukis jaman Bizantium, Picasso, Matisse, pelukis wayang Beber di Jawa dapat menjadi bahan komparasi bagaimana kurang atau tidak terlihatnya ilusi kepadatan isi dan kedalaman. Banyak pelukis yang menggunakan massa dan perspektif untuk efek tertentu dan menggunakan form dekoratif yang rata untuk efek lain.
Para seniman memiliki beberapa cara untuk mengkombinasikan elemen-elemen lukisan. Salah satu cara adalah representasi. Sebuah lukisan disebut representasional jika pelukis mengatur detail-detail nya menjadi terlihat seperti sebuah objek atau sebuah adegan/pemandangan. Cara ini menawarkan sebuah ilusi pada pengamat bahwa apa yang dilihatnya itu adalah sebuah objek atau pemandangan yang nyata, bukan sekedar sebuah bidang yang dipenuhi cat. Namun sebuah gambar tidak mesti terlihat persis seperti apa yang direpresentasikannya. Dalam melukis still life misalnya, seorang pelukis mungkin saja merubah atau meninggalkan beberapa detail dari objek nyata yang dilukisnya agar hasilnya terlihat lebih spesial. Cara lainnya adalah disain. Menggunakan garis yang berulang-ulang dan bervariasi, titik-titik atau blok-blok warna sebagai tema, dan di susun secara dekoratif. Bentuk-bentuk yang ditampilkan bersusun satu di atas yang lain, atau menumpuk antara satu dengan lainnya.
Beberapa lukisan ada yang memiliki kedua faktor representasi sekaligus disain, seperti pada lukisan “The Three Musicians” karya Picasso. Beberapa lukisan lainnya bahkan tidak memiliki faktor representasi sama sekali. Lukisan seperti ini tidak menawarkan sesuatu bentuk seperti yang lazim kita lihat. Jenis lukisan seperti ini disebut abstrak atau non-objektif, walaupun kedua istilah tersebut tidak memiliki arti yang persis sama. Beberapa pelukis memulai dengan cara membuat atau membayangkan sebuah gambar realistik dari sebuah objek. Namun kemudian mereka menghilangkan sebagian dan sebagian lagi detail objek tersebut hingga sulit untuk dikenali lagi. Mereka berkonsentrasi pada pembuatan sebuah disain yang menarik untuk dilihat. Proses ini melibatkan abstraksi atau penghilangan detail. Pelukis lainnya mengatur garis dan warna menjadi sebuah komposisi yang menarik. Lalu terciptalah sebuah lukisan non-objektif. Sebuah karya seperti lukisan tiga pemusik nya Picasso, yang tidak menghilangkan keseluruhan faktor representasi, sering pula disebut sebagai lukisan semi-abstrak.
Apa yang membuat sebuah lukisan abstrak dapat tetap menarik perhatian kita, bila semua representasi dari sesuatu yang mungkin ingin kita lihat telah dihilangkan? Lukisan abstrak melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan sebuah komposisi musik. Hampir semua musik instrumental tidak berbunyi seperti sesuatu yang ada di alam, namun kita bisa mendengarkan dengan perasaan senang dan menikmati gagasan yang ditawarkan oleh komposernya, karena komposisi itu menghasilkan disain suara yang indah dan karena mengekspresikan emosi. “Komposisi” karya Kandinsky adalah salah satu contoh lukisan yang menarik karena disain garis ekspresif yang mengalir bebas tidak beraturan serta variasi warna yang kaya. Banyak pelukis, seperti Willem de Kooning dan Jackson Pollock jadi lebih mengedepankan pengekspresian emosi dalam berkarya. Karya-karya mereka disebut abstrak-ekspresionisme.
Sebagaimana hal nya dengan musik dan puisi, lukisan dapat diadaptasi untuk tujuan-tujuan praktis, termasuk sebagai barang dagangan atau untuk mempengaruhi pikiran publik. Lukisan banyak dipakai sebagai media untuk menceritakan sebuah kisah atau menjelaskan gagasan-gagasan etika atau relijius. Sekarang ini, sebagai “seni murni”, lukisan banyak dipakai sebagai media pengekspresian gagasan atau perasaan artistik dari pelukisnya. Namun lukisan masih dipakai untuk menjelaskan gagasan-gagasan abstrak, khususnya dalam ilustrasi.
Semakin banyak kita mempelajari sejarah seni, semakin kita paham bahwa ada banyak cara melukis dan banyak jenis lukisan. Setiap seniman hebat, juga setiap periode utama dalam sejarah seni memiliki satu atau lebih gaya melukis. Ketertarikan dan kesenangan kita pada lukisan makin meningkat seiring dengan makin banyaknya kita belajar membedakan antara lukisan karya Affandi dan lukisan karya Renoir misalnya, atau antara lukisan Persia dan lukisan Jepang. Dengan membandingkan gaya, kita dapat melihat bagaimana seorang pelukis belajar dari seniman sebelumnya, dan bagaimana dia mempengaruhi seniman-seniman sesudahnya.
Apa yang membuat sebuah gaya berbeda dengan gaya lainnya? Jawaban dari pertanyaan ini adalah luasnya kemungkinan yang dapat dipilih dan diutamakan oleh seorang pelukis dalam menggunakan elemen-elemen lukisan dan cara menggabungkan elemen-elemen tersebut. Sebuah gaya menekankan pada jenis garis tertentu, gaya yang lain pada terang dan gelap, yang lain pada hue tertentu, lainnya lagi pada kepadatan massa atau kedalaman ruang. Sebuah gaya menonjolkan representasi, sementara gaya lainnya pada disain. Kita dapat belajar mengenali gaya atau corak lukisan sewaktu kita melihatnya dengan cara bertanya pada diri sendiri elemen atau cara apa saja yang ditonjolkan, dihilangkan, atau dikurangi, oleh seniman dalam mengorganisir lukisannya. Selanjutnya kita dapat belajar mengetahui bagaimana cara setiap pelukis membuat lukisan.

Sabtu, 24 Desember 2011

APA YANG MEMBUAT SEBUAH LUKISAN JADI “HEBAT"

Sebuah lukisan dinyatakan “hebat” berarti lukisan tersebut bukan hanya bagus, namun juga berarti salah satu karya terpenting yang pernah dibuat. Sebuah lukisan “hebat” mungkin sulit untuk dipahami pada awalnya, namun begitu kita mendalaminya, kita cenderung untuk terus makin mengagumi dan menikmatinya. Popularitas semata tidak membuat sebuah karya seni menjadi “hebat”. Sebuah lukisan mungkin sangat dikagumi oleh jutaan orang selama setahun dan tahun berikutnya sudah hampir terlupakan. Karya seni yang betul-betul “hebat” bisa dinikmati selama ratusan tahun, mungkin bukan oleh khalayak ramai, tetapi oleh orang-orang dengan kepekaan cita rasa yang tinggi dan terpelajar di seluruh dunia.
Otoritas-otoritas seni sangat berbeda pendapat tentang lukisan, pelukis, atau gaya apa yang paling hebat. Tentu saja sangat sulit, bahkan mungkin mustahil, untuk menyusun daftar berdasarkan “kehebatan” yang akan disetujui oleh semua otoritas-otoritas seni yang ada. Begitu banyak gaya dari begitu banyak seniman, negara, dan periode waktu. Namun secara umum ada sebahagian yang dapat dinyatakan sebagai lukisan-lukisan “terhebat” di dunia.
Kualitas seperti apakah yang membuat sebuah karya mampu bertahan melampaui masa? Standar nilai apa yang bisa kita pakai untuk menetapkan “kehebatan”? Lagi-lagi para kritikus saling bersilang pendapat. Sebahagian orang pernah beranggapan bahwa hukum keindahan dan aturan tentang seni yang bagus dapat ditetapkan dengan jelas dan pasti. Hukum-hukum dan aturan-aturan ini secara garis besar berdasarkan gaya dalam seni Yunani. Para pelajar mengikuti aturan-aturan ini dan para kritikus memakainya dalam menetapkan nilai seni. Namun sebagian lagi beranggapan bahwa setiap orang boleh menafsirkannya berdasarkan selera atau cara pandang masing-masing. Para kritikus sekarang percaya bahwa memang ada banyak jenis nilai, dan sangat sukar untuk diwujudkan menjadi sebuah aturan yang baku dan sederhana.
Pada dasarnya, nilai dari sebuah karya seni dapat di tetapkan berdasarkan kemampuannya untuk menciptakan pengalaman yang berarti bagi para pengamat. Karya seni bekerja terutama dengan cara menstimulasi penglihatan atau pendengaran seseorang, juga mengkomunikasikan gagasan-gagasan penting, perasaan, sikap dan tindakan-tindakan yang menyusun budaya kita. Hal ini dapat dilakukan melalui bermacam-macam cara, dan para seniman terus-menerus menemukan cara-cara baru.

The Big Apples
Paul Cezanne

Still Life With Clay Pipe
Jean Baptiste Chardin

Agar masuk dalam kategori   “hebat”,         “agung”, “besar”, atau “masterpiece”, sebuah karya seni harus memiliki nilai yang melingkupi umat manusia secara luas, tidak dibatasi oleh waktu atau tempat. Juga harus memiliki subjek yang menarik perhatian dalam waktu yang lama, tidak sekedar lewat. Di saat yang sama, karya-karya “hebat” biasanya memuat iktisar budaya dari beberapa kelompok dan periode tertentu. Subjek penting saja tidaklah cukup, sebab sebuah karya seni mungkin memiliki gagasan yang dalam namun penampilannya tumpul dan cenderung imitasi. Subjek bisa saja bukan sesuatu yang penting, seperti buah apel punya Cezanne, pipa tanah liatnya Chardin, atau burung yang bertengger di dahan milik Hui-tsung misalnya. Sebuah gambar dapat dipertimbangkan “hebat”, karena mampu membuat kita merasakan realitas yang berbeda dari sebuah subjek. Realitas yang belum pernah kita rasakan sebelumnya.
Five Colored Parakeet
Hui-tsung
Seorang seniman dapat menambahkan cara baru dalam melihat atau membayangkan sesuatu pada perbendaharaan artistik dunia. Dia dapat menggunakan material seni untuk menyodorkan pengalaman baru dari penampakan bentuk dan warna. Cezanne dikagumi dengan kemampuannya mengorganisir kekayaan warna impressionis menjadi suatu wujud yang padat dan kuat.  
Penjaga Malam
Rembrandt van Rijn
“Penjaga Malam” karya Rembrandt, dihargai sebagai salah satu lukisan terhebat di dunia. Para kritikus mengagumi cara Rembrandt mengorganisir cahaya dan bayangan, menonjolkan sebagian dari wajah dan figur-figur lebih dari yang lain. Daripada menggunakan bayangan-bayangan gelap dan highlight yang terang, ia memilih untuk menambahkan kilatan-kilatan cahaya di sana-sini pada bagian-bagian tertentu dari senjata, zirah dan pakaian untuk mengangkat warna pekat yang lembut dari latar belakang. Sebagai hasilnya, ia menciptakan organisasi cahaya dan warna yang tak tertandingi. Ia melukis sebuah lukisan potret berkelompok yang penuh dengan variasi dan gerakan, namun seimbang dan menyatu sebagai sebuah komposisi. “Penjaga Malam” adalah ikhtisar dari sebagian besar seni gambar yang telah ada sebelum nya.

Haboku Lanscape
Sesshu

“Haboku Landscape” karya Sesshu sepintas hanyalah beberapa goresan tidak sengaja dan noda-noda tinta yang kasar lagi buram. Namun jika kita mencoba untuk menginterpretasikan jenis lukisan seperti ini, akan muncullah kesan dari keseluruhan sebuah lanskap yang luas. Dalam hal lukisan, orang Jepang memang sangat mengagumi kesederhanaan yang ekstrim dan ekonomis. Mereka sering kali mencoba untuk menyampaikan suatu gambaran dengan menggunakan goresan kuas sesedikit mungkin.

Pencapaian Rembrandt dan Sesshu telah sampai pada taraf “tak tertandingi”, namun dengan cara, teknik dan metode mereka masing-masing. Mereka telah mampu mempergunakan alat dan keinginan mereka dengan kendali yang sempurna untuk mendapatkan sebuah kesatuan bentuk yang mampu merangsang munculnya pengalaman visual berharga bagi pengamat.